ESG News – Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia dihadapkan dengan berbagai skandal korupsi yang menyeret perusahaan-perusahaan besar, baik yang dikelola negara maupun swasta. Kasus korupsi di Pertamina, pengadaan Minyak Kita, serta skandal iklan di Bank BJB menjadi bukti bahwa praktik ini masih mengakar kuat dalam sistem bisnis dan pemerintahan.
Padahal, dalam dunia bisnis modern, keberlanjutan perusahaan tidak hanya diukur dari keuntungan finansial semata, tetapi juga dari penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Dari ketiga pilar ini, aspek tata kelola (governance) menjadi fondasi utama dalam memastikan transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan bisnis jangka panjang. Korupsi, sebagai bentuk penyimpangan dalam tata kelola, mencederai prinsip-prinsip ESG dan dapat membawa dampak luas terhadap kepercayaan investor, reputasi perusahaan, serta stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Dampak Korupsi terhadap Pilar ESG
Perilaku korupsi tentu saja mencederai prinsip keberlanjutan yang diusung dalam ESG. Hal ini membuat kerusakan bagi prinsip keberlanjutan yang digaungkan dalam pengelolaan korporasi maupun institusi ke depannya.
1. Tata Kelola (Governance): Pilar yang Dirusak oleh Korupsi
Dalam konsep ESG, tata kelola yang baik adalah dasar dari keberlanjutan. Prinsip ini mencakup transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam pengambilan keputusan. Namun, kasus korupsi yang terjadi menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan regulasi.
Misalnya, dalam kasus korupsi pengadaan Minyak Kita, ditemukan bahwa sistem tender dan distribusi tidak dijalankan dengan transparan, memungkinkan aktor-aktor tertentu untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan publik. Demikian pula, skandal iklan Bank BJB memperlihatkan bagaimana penyalahgunaan anggaran bisa terjadi akibat lemahnya pengawasan internal dan eksternal.
Korupsi di sektor tata kelola menyebabkan menurunnya kepercayaan investor. Investor semakin berhati-hati dalam menanamkan modalnya di perusahaan atau negara yang memiliki catatan korupsi tinggi. Kepercayaan adalah aset yang sulit dibangun kembali setelah skandal terjadi. Biaya operasional perusahaan meningkat karena harus membayar denda besar, kehilangan nilai saham, dan menghadapi tuntutan hukum yang menggerus keuntungan mereka. Pengambilan keputusan menjadi tidak efisien karena keputusan berbasis korupsi sering kali mengabaikan efektivitas dan kualitas, sehingga dapat merugikan perusahaan dalam jangka panjang.
2. Dampak pada Lingkungan (Environmental)
Salah satu efek tak langsung dari korupsi adalah degradasi lingkungan. Dalam banyak kasus, praktik korupsi sering kali melibatkan pelanggaran terhadap regulasi lingkungan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Proyek infrastruktur yang disetujui melalui suap tanpa memperhitungkan dampak ekologisnya mengarah pada deforestasi, pencemaran, dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Pejabat yang korup dapat memperlonggar aturan lingkungan demi kepentingan bisnis, menyebabkan eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab.
3. Dampak Sosial (Social)
Korupsi juga membawa dampak sosial yang signifikan. Ketimpangan ekonomi meningkat karena dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sering kali diselewengkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Kualitas layanan publik menurun karena korupsi dalam sektor pemerintahan menghambat pembangunan infrastruktur dan layanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi juga meningkat, menyebabkan instabilitas sosial karena masyarakat kehilangan keyakinan terhadap lembaga pemerintahan dan sektor bisnis.
Upaya Pemulihan: Membangun Kembali Tata Kelola yang Baik
Menghilangkan korupsi dalam sistem bisnis dan pemerintahan bukanlah tugas yang mudah. Namun, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk memperbaiki tata kelola dan mengembalikan kepercayaan publik serta investor.
1. Perbaikan Sistem dan Prosedur
Transparansi dalam proses tender harus diterapkan agar semua proyek pengadaan barang dan jasa dilakukan secara terbuka dengan sistem lelang yang jelas dan dapat diakses publik. Digitalisasi layanan publik harus ditingkatkan dengan penggunaan teknologi seperti blockchain yang dapat membantu menciptakan sistem pengawasan lebih ketat dan mengurangi celah bagi praktik korupsi.
2. Penempatan Orang yang Berintegritas
Seleksi pejabat dan pemimpin dalam institusi bisnis dan pemerintahan harus berbasis meritokrasi, yaitu berdasarkan kompetensi dan rekam jejak yang bersih dari praktik korupsi. Semua pejabat dan eksekutif di perusahaan harus secara rutin melaporkan aset dan kekayaan mereka untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.
3. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas
Laporan keuangan perusahaan harus secara rutin dipublikasikan dan membuka akses bagi auditor independen untuk mengawasi arus kas. Regulasi dan hukuman bagi pelaku korupsi perlu diperkuat dengan penegakan hukum yang lebih ketat dan hukuman yang berat untuk memberikan efek jera.
Perlu Upaya Serius dan Komprehensif Mencegah Korupsi
Korupsi bukan hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menghancurkan fondasi tata kelola yang baik dalam kerangka ESG. Untuk membangun kembali kepercayaan publik dan investor, diperlukan langkah konkret dalam memperbaiki sistem, memperketat pengawasan, serta menempatkan individu yang memiliki integritas tinggi dalam posisi strategis. Tanpa upaya yang serius, korupsi akan terus menjadi penghalang utama bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan stabilitas sosial di Indonesia.
Masa depan bisnis dan pemerintahan yang bersih dari korupsi bergantung pada kemauan politik, penegakan hukum yang kuat, serta partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi kebijakan yang dijalankan. Dengan langkah-langkah ini, prinsip ESG tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar diterapkan demi masa depan yang lebih berkelanjutan. (Raja Suhud/Founder Pewarta Institute/ESG-1)