Danantara dan Kejatuhan Bursa Efek Indonesia: Harapan yang Tak Berbuah

Founder Pewarta Institute Raja Suhud. (dok.pri)

ESG News – Bursa Efek Indonesia (BEI) terus mengalami tekanan dalam beberapa waktu terakhir, dengan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang cenderung melemah. IHSG pada Kamis (27.2) melemah 1,83% ke level 6.485,45 pada Kamis (27/2) . Ini menembus titik terendahnya sejak 12 Oktober 2021.

Secara tahunan, bila dibandingkan dengan awal tahun, IHSG telah amblos hampir 10% dan menjadikan kinerja bursa efek Indonesia berada dalam rangking atas bursa berkinerja terburuk.

Salah satu faktor yang sempat diharapkan dapat membawa angin segar adalah kehadiran Danantara, holding investasi milik pemerintah yang akan menjadi pemegang saham strategis berbagai BUMN di pasar modal. Hal ini logis karena Danantara memegang saham 5 dari 7 BUMN yang listing di pasar modal yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM), dan Mining Industry Indonesia (MIND ID). Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan bahwa kehadiran Danantara belum mampu memberikan sentimen positif bagi pelaku pasar.

Sejatinya, kehadiran Danantara bertujuan untuk memperkuat fundamental BUMN dan meningkatkan daya tarik saham-saham milik negara di pasar modal. Namun, beberapa faktor justru membuat harapan ini tak kunjung menjadi kenyataan.

1. Tekanan Eksternal dan Faktor GlobalPasar modal Indonesia, seperti halnya bursa saham lainnya di dunia, sangat dipengaruhi oleh kondisi global. Ketidakpastian ekonomi akibat perlambatan ekonomi global, suku bunga tinggi di Amerika Serikat, serta tekanan geopolitik membuat investor asing lebih memilih menarik dananya dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Arus modal keluar ini menekan IHSG dan memperburuk sentimen investor domestik.

2. Ketidakjelasan Strategi dan Implementasi DanantaraDanantara diharapkan bisa menjadi investor strategis yang mampu meningkatkan efisiensi dan daya saing BUMN di pasar modal. Namun, hingga saat ini, arah kebijakan dan strategi implementasi Danantara masih belum jelas bagi pelaku pasar. Investor masih bertanya-tanya bagaimana holding ini akan meningkatkan nilai perusahaan yang berada di bawahnya. Tanpa kejelasan arah dan manfaat konkret bagi pemegang saham publik, kehadiran Danantara justru dianggap sebagai faktor ketidakpastian baru.

3. Kekhawatiran Terhadap Intervensi PemerintahSebagian besar investor di pasar modal lebih menyukai perusahaan yang dikelola secara profesional dengan tata kelola yang baik. Namun, kehadiran Danantara sebagai pemegang saham besar di berbagai BUMN justru menimbulkan kekhawatiran akan adanya intervensi pemerintah dalam kebijakan korporasi. Jika pengelolaan perusahaan terlalu sarat dengan kepentingan politik, investor khawatir bahwa keputusan bisnis tidak akan diambil berdasarkan pertimbangan ekonomi yang optimal, melainkan lebih condong pada kepentingan jangka pendek pemerintah.

4. Kinerja Saham BUMN yang Belum Sesuai HarapanSaham-saham BUMN yang menjadi bagian dari Danantara diharapkan mengalami penguatan dengan adanya holding ini. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa saham-saham tersebut belum mengalami perbaikan signifikan. Beberapa BUMN bahkan masih dibayangi oleh kinerja yang kurang optimal, beban utang tinggi, serta efisiensi yang rendah. Tanpa adanya perbaikan fundamental yang jelas, pelaku pasar tetap bersikap skeptis terhadap prospek jangka panjang perusahaan-perusahaan tersebut.

5. Kepercayaan Investor yang TergerusPasar modal sangat bergantung pada kepercayaan investor. Ketika investor tidak melihat adanya perubahan positif yang nyata dari kehadiran Danantara, mereka cenderung menjauhi saham-saham terkait. Selain itu, masih adanya kekhawatiran terhadap regulasi dan transparansi dalam pengelolaan aset negara membuat banyak investor lebih memilih untuk berinvestasi di sektor lain atau bahkan menarik dana mereka ke instrumen yang lebih aman.

Membutuhkan Strategi yang Jelas dan Eksekusi yang Tepat

Kehadiran Danantara sejatinya bisa menjadi faktor positif bagi Bursa Efek Indonesia jika dikelola dengan strategi yang jelas, profesionalisme yang tinggi, serta transparansi yang baik. Namun, tanpa perbaikan dalam implementasi dan arah kebijakan yang tegas, kehadiran holding ini justru bisa menjadi faktor ketidakpastian tambahan bagi investor.

Untuk mengembalikan kepercayaan pasar, pemerintah dan Danantara perlu memastikan bahwa setiap langkah yang diambil benar-benar berorientasi pada peningkatan nilai bagi pemegang saham dan tidak sekadar menjadi instrumen investasi semata. Jika tidak, IHSG akan terus berada dalam tekanan dan kehadiran Danantara hanya akan menjadi harapan yang tak berbuah bagi pasar modal Indonesia. (Raja Suhud/Pewarta Institute)

Related posts