ESG News– Bursa Karbon Indonesia mencatat perkembangan signifikan sejak diluncurkan pada 26 September 2023. Hingga 31 Januari 2025, tercatat 107 pengguna jasa telah mendapatkan izin dengan total volume perdagangan karbon mencapai 1.181.255 tCO2e dan akumulasi nilai sebesar Rp62,93 miliar.
Rincian transaksi menunjukkan bahwa 12,22 persen volume perdagangan terjadi di Pasar Reguler, 62,14 persen di Pasar Negosiasi, 25,40 persen di Pasar Lelang, dan 0,24 persen melalui marketplace. Ke depan, potensi bursa ini masih sangat besar mengingat terdapat 4.154 pendaftar dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI), serta tingginya potensi unit karbon yang dapat ditawarkan.
Sebagai langkah strategis dalam memperkuat kontribusi terhadap pengendalian perubahan iklim global, Bursa Karbon Indonesia mulai membuka perdagangan internasional sejak 20 Januari 2025. Dalam kurun waktu 10 hari pertama, realisasi volume transaksi karbon lintas negara mencapai 49.815 tCO2e dengan nilai transaksi Rp4,02 miliar.
Perbandingan dengan Negara Lain
Indonesia masih perlu mengejar ketertinggalan dari negara-negara yang lebih dulu mengembangkan pasar karbon mereka. Beberapa negara yang telah sukses dalam implementasi bursa karbon antara lain:
-
Uni Eropa (EU ETS)
Uni Eropa memiliki salah satu sistem perdagangan emisi terbesar di dunia, yaitu European Union Emissions Trading System (EU ETS), yang telah berjalan sejak 2005. Sistem ini telah berkembang menjadi model bagi banyak negara lain dengan cakupan industri yang luas dan mekanisme lelang yang kuat. -
Tiongkok
Tiongkok meluncurkan pasar karbon nasionalnya pada 2021 dan kini menjadi yang terbesar di dunia, mencakup sektor tenaga listrik dengan total emisi lebih dari 4 miliar ton CO2e per tahun. Pemerintah Tiongkok terus mengembangkan sistem ini dengan menambahkan sektor lain seperti manufaktur dan penerbangan. -
Amerika Serikat (California Cap-and-Trade)
Negara bagian California memiliki program perdagangan karbon yang sukses dengan mekanisme ketat dalam pengurangan emisi dan keterlibatan sektor industri secara luas. California juga mengizinkan perdagangan kredit karbon dengan Quebec, Kanada. -
Korea Selatan
Korea Selatan meluncurkan sistem perdagangan emisi nasionalnya pada 2015, yang kini mencakup lebih dari 600 perusahaan dan memiliki target pengurangan emisi yang ambisius untuk mencapai net-zero pada 2050.
Tantangan dan Upaya Meningkatkan Bursa Karbon Indonesia
Meskipun mengalami pertumbuhan, Bursa Karbon Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan yang perlu diatasi agar dapat berkembang lebih pesat, di antaranya:
-
Skala dan Likuiditas
Volume perdagangan masih relatif kecil dibandingkan bursa karbon global. Diperlukan peningkatan partisipasi industri dan investor dalam negeri serta dorongan untuk menarik lebih banyak pelaku pasar internasional. -
Standarisasi dan Regulasi
Indonesia perlu memastikan bahwa standar karbon yang diterapkan selaras dengan standar internasional agar kredit karbon dari Indonesia dapat diterima lebih luas di pasar global. -
Integrasi dengan Pasar Global
Perdagangan lintas negara yang baru dimulai masih memiliki potensi besar. Indonesia dapat mengadopsi praktik terbaik dari EU ETS, California Cap-and-Trade, atau sistem Tiongkok dalam membangun ekosistem bursa karbon yang lebih kompetitif. -
Insentif dan Kesadaran Industri
Pemerintah perlu memberikan insentif bagi industri untuk terlibat dalam perdagangan karbon serta meningkatkan edukasi bagi pelaku usaha mengenai manfaat ekonomi dari mekanisme ini.
Dengan langkah-langkah strategis yang tepat, Bursa Karbon Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam perdagangan karbon global, sekaligus memperkuat komitmen Indonesia dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan transisi menuju ekonomi rendah karbon. (Raja Suhud/Founder Pewarta Institute/ESG-1)