Indonesia dan BRICS: Menakar Dampak Positif dan Negatif bagi Posisi Geopolitik Nasional

Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS membawa konsekuensi positif dan negatif. (dok. chatgpt)

Keputusan Indonesia untuk bergabung dalam BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) menjadi topik diskusi hangat di ranah geopolitik internasional. Organisasi yang bertujuan memperkuat kerja sama ekonomi negara-negara berkembang ini semakin menggema, terutama karena wacana pembentukan mata uang bersama dan dominasi ekonomi global yang menantang hegemoni Barat. Namun, apakah langkah ini lebih positif bagi Indonesia, ataukah lebih baik tetap mempertahankan posisi netral?

Pertama, bergabung dengan BRICS dapat membuka peluang ekonomi baru bagi Indonesia. Sebagai bagian dari blok ekonomi besar yang mencakup negara-negara berkembang, Indonesia bisa mengakses pasar yang lebih luas, mempererat hubungan perdagangan, dan mendiversifikasi mitra ekonomi. Dalam konteks ini, BRICS menawarkan potensi pembiayaan infrastruktur melalui New Development Bank (NDB), yang dapat mendukung pembangunan nasional tanpa terlalu bergantung pada lembaga keuangan Barat seperti IMF dan Bank Dunia.

Selain itu, keikutsertaan Indonesia dalam BRICS dapat meningkatkan posisi strategisnya di kancah global. Sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia dapat menjadi representasi kawasan dalam forum ini. Hal ini juga memungkinkan Indonesia untuk memperkuat diplomasi ekonomi dan politik, terutama dalam mendorong agenda negara-negara berkembang di tengah tekanan ekonomi global.

Namun, di sisi lain, ada risiko bahwa bergabung dengan BRICS dapat merusak hubungan Indonesia dengan mitra tradisional seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Mengingat hubungan ekonomi yang kuat dengan negara-negara Barat, Indonesia mungkin menghadapi dilema dalam menjaga keseimbangan kebijakan luar negeri. Masuknya Indonesia ke dalam BRICS bisa dianggap sebagai pergeseran politik yang lebih condong ke Timur, sehingga berpotensi memengaruhi investasi asing dari Barat. Ancaman baru juga muncul setelah mantan Presiden AS Donald Trump, dalam pernyataannya, mengkritik keras BRICS dan mengancam akan memberlakukan sanksi ekonomi terhadap negara-negara yang dianggap terlalu dekat dengan blok tersebut. Hal ini dapat menjadi tantangan besar bagi Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonominya.

Selain itu, bergabung dengan BRICS dapat mempersulit posisi Indonesia dalam mempertahankan kebijakan luar negeri bebas aktif. BRICS, meski digambarkan sebagai forum ekonomi, juga memiliki dimensi politik yang signifikan, terutama dengan adanya China dan Rusia sebagai anggotanya. Dominasi kedua negara tersebut dalam BRICS berpotensi menciptakan tekanan bagi Indonesia untuk menyelaraskan sikap dalam isu-isu geopolitik global, yang bisa bertentangan dengan prinsip netralitas.

Netral Lebih Menguntungkan ?

Tetap netral sebenarnya memiliki kelebihan tersendiri. Dengan tidak terikat pada blok tertentu, Indonesia dapat menjaga fleksibilitas dalam membangun hubungan dengan semua pihak. Kebijakan netral memungkinkan Indonesia untuk terus berperan sebagai jembatan antara negara-negara berkembang dan maju, sekaligus mempertahankan kepentingan nasional tanpa komitmen yang mengikat kepada aliansi tertentu.

Namun, netralitas juga memiliki kelemahan, terutama dalam konteks perubahan dinamika global yang semakin multipolar. Dengan tetap berada di luar BRICS, Indonesia mungkin kehilangan peluang untuk berpartisipasi dalam pembentukan tatanan ekonomi baru yang lebih inklusif bagi negara-negara berkembang. Ketiadaan suara Indonesia dalam forum seperti BRICS bisa membuat posisinya kurang relevan di tengah persaingan kekuatan global.

Keputusan untuk bergabung atau tetap netral pada akhirnya harus mempertimbangkan strategi jangka panjang Indonesia. Jika tujuannya adalah meningkatkan pengaruh ekonomi dan politik di kancah global, bergabung dengan BRICS bisa menjadi langkah yang logis. Namun, jika menjaga hubungan yang seimbang dengan semua pihak menjadi prioritas utama, posisi netral mungkin lebih bijak.

Dalam perspektif jangka pendek, bergabung dengan BRICS dapat memberikan manfaat ekonomi yang nyata. Namun, Indonesia juga harus waspada terhadap potensi implikasi politik yang menyertainya. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi secara cermat dampak dari setiap opsi, memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar sejalan dengan kepentingan nasional.

Kesimpulannya, baik bergabung dengan BRICS maupun tetap netral memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing. Kunci utama adalah menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, politik, dan strategi geopolitik. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat posisinya di tengah dinamika global yang terus berubah. (Raja Suhud/ESG-1)

Related posts