COP29 Baku: Tantangan dan Kegagalan Akselerasi Aksi Global untuk Perubahan Iklim

Logo Cop 29. (Dok.Arzetac)

ESG News – PERTEMUAN tahunan Conference of the Parties (COP) ke-29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, telah berakhir dengan hasil yang mengecewakan bagi banyak pihak yang berharap pada percepatan aksi nyata terhadap perubahan iklim. Meski ajang ini tetap menjadi platform penting untuk diskusi global mengenai isu lingkungan, COP29 dinilai gagal mencapai terobosan signifikan dalam upaya akselerasi transisi energi dan pengurangan emisi karbon.

Harapan Tinggi, Hasil Tak Sesuai Ekspektasi

COP29 datang dengan ekspektasi tinggi, terutama setelah berbagai bencana alam yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim, dari kebakaran hutan yang meluas hingga banjir ekstrem di berbagai belahan dunia. Banyak pihak berharap forum ini dapat menghasilkan kesepakatan baru yang lebih ambisius untuk mengatasi krisis iklim yang semakin mendesak.

Namun, meskipun berbagai diskusi dan negosiasi telah dilakukan, tidak ada konsensus kuat yang dihasilkan untuk mempercepat aksi iklim global. Sejumlah pakar dan aktivis iklim menyebut bahwa pertemuan ini lebih banyak diwarnai oleh retorika politik daripada komitmen nyata untuk melakukan langkah-langkah konkret.

Kegagalan Mencapai Konsensus Pembiayaan Iklim

Salah satu isu paling krusial yang kembali gagal mencapai kesepakatan adalah pembiayaan iklim. Negara-negara berkembang terus menuntut janji yang telah lama tertunda dari negara-negara maju untuk menyediakan pendanaan sebesar $100 miliar per tahun, yang seharusnya mulai dicairkan sejak 2020. Dana ini dimaksudkan untuk membantu negara berkembang melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Namun, pada COP29, diskusi mengenai pembiayaan ini lagi-lagi terhambat oleh perbedaan pandangan antara negara-negara maju dan berkembang. Negara-negara maju enggan meningkatkan komitmen mereka tanpa adanya transparansi penggunaan dana dan jaminan reformasi iklim dari negara penerima. Di sisi lain, negara berkembang merasa mereka tidak mendapatkan dukungan finansial yang memadai untuk menghadapi krisis yang sebagian besar disebabkan oleh emisi negara maju.

“Ketidakmampuan kita untuk menyetujui mekanisme pendanaan yang lebih ambisius adalah pukulan bagi kepercayaan global terhadap komitmen iklim,” ujar Demetrios Papathanasiou, Direktur Global Energy & Extractives di World Bank, dalam sesi penutup.

 Transisi Energi yang Terhambat

Agenda transisi energi yang seharusnya menjadi fokus utama juga tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan. Sesi panel yang membahas percepatan transisi energi terbarukan diwarnai oleh ketidaksepakatan antara berbagai negara mengenai target pengurangan emisi dan penghentian penggunaan bahan bakar fosil.

Negara-negara produsen minyak, seperti Arab Saudi dan Rusia, tetap enggan berkomitmen pada penghentian penggunaan bahan bakar fosil, dengan alasan dampak ekonomi yang merugikan bagi mereka. Sementara itu, negara-negara berkembang, yang memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, masih terkendala oleh biaya investasi yang tinggi dan kurangnya dukungan finansial dari negara-negara maju.

“Tidak ada kemajuan berarti pada agenda penghapusan subsidi bahan bakar fosil. Ini menunjukkan lemahnya komitmen global dalam mempercepat transisi ke energi bersih,” kata Valerie Levkov, Direktur Global Energy di International Finance Corporation (IFC).

Kritik Terhadap Kurangnya Aksi Nyata

Aktivis lingkungan dan organisasi non-pemerintah (NGO) mengecam kurangnya komitmen yang dihasilkan dari pertemuan COP29. Mereka menyebut bahwa forum ini telah menjadi ajang “greenwashing” bagi negara-negara dan perusahaan besar yang ingin terlihat peduli lingkungan, tetapi tidak mengambil langkah nyata untuk perubahan.

“Negosiasi di Baku hanya memperpanjang krisis. Ketika dunia membutuhkan tindakan segera, kita justru mendapatkan janji tanpa tindakan,” kritik salah satu perwakilan dari Greenpeace, yang memilih untuk meninggalkan sesi diskusi sebagai bentuk protes.

So  Apa Selanjutnya?

Dengan semakin sempitnya jendela waktu untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C, kegagalan COP29 ini menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan kerjasama iklim internasional. Meski beberapa negara berjanji untuk kembali ke meja perundingan dengan target yang lebih ambisius pada COP30, ada kekhawatiran bahwa waktu untuk bertindak sudah semakin habis.

Para pengamat menyarankan perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan transparan dalam menentukan target iklim. Selain itu, tekanan dari masyarakat sipil dan sektor swasta harus terus ditingkatkan untuk memastikan bahwa pemerintah tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak nyata.

Ini Kesimpulannya: Krisis Kepercayaan Terhadap COP

COP29 menyoroti betapa sulitnya mencapai konsensus global dalam menangani perubahan iklim, terutama ketika kepentingan ekonomi dan politik masih mendominasi agenda negosiasi. Jika tren ini berlanjut, maka harapan untuk mencapai target net zero emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat akan semakin sulit tercapai.

Pertemuan berikutnya, COP30, akan menjadi momen penentuan apakah dunia benar-benar siap untuk berkomitmen pada perubahan atau hanya sekadar melanjutkan siklus negosiasi tanpa aksi. Tanpa akselerasi nyata dalam aksi iklim, masa depan lingkungan global kita akan tetap berada dalam ancaman yang serius.(ESG-1)

Related posts