Urgensi Evaluasi Keberadaan Kementerian BUMN di Era Danantara

Keberadaan BUMN cenderung tidak dibutuhkan lagi seiring dengan hadirnya Danantara. (ilustrasi by.chatgpt)

Oleh: Raja Suhud Victor Hugo

Founder dan Chairman Pewarta Institute

 

INSTRUKSI  terbaru dari Danantara yang mewajibkan seluruh BUMN non-Tbk menunda RUPS dan aksi korporasi tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Kementerian BUMN bukan sekadar urusan administratif. Ini merupakan titik balik penting yang menandai pergeseran struktur pengambilan keputusan strategis atas aset negara. Pergeseran ini menyiratkan bahwa kewenangan Kementerian BUMN sebagai entitas pengelola BUMN telah dipreteli secara sistematis. Maka, pertanyaannya: apakah kita masih memerlukan Kementerian BUMN?

Sebagai sovereign investment company, Danantara pada prinsipnya merepresentasikan arah baru pengelolaan BUMN—bukan lagi berbasis birokrasi dan kontrol administratif, melainkan berbasis nilai, portofolio, dan optimalisasi aset. Dengan kontrol atas kebijakan investasi dan intervensi strategis BUMN non-Tbk kini berada di bawah Danantara, maka Kementerian BUMN tak ubahnya menjadi lembaga yang kehilangan panggung utama.

Jika perubahan ini dimaksudkan untuk mendorong tata kelola yang lebih efisien dan profesional, maka langkah logis berikutnya adalah melakukan reformasi kelembagaan: evaluasi eksistensi Kementerian BUMN. Ada lima pertimbangan mendasar yang perlu dicermati:

Pertama, terjadi tumpang tindih kewenangan yang menyebabkan potensi dualisme arah kebijakan. BUMN yang semestinya berfokus pada transformasi bisnis kini dihadapkan pada dua ‘atasan’ yang berbeda. Hal ini bisa berimplikasi negatif pada kecepatan eksekusi dan konsistensi manajemen risiko.

Kedua, dari sisi anggaran, Kementerian BUMN memiliki pagu belanja sebesar Rp308 miliar pada 2024. Dalam konteks efisiensi belanja negara dan penguatan produktivitas fiskal, mempertahankan kementerian yang tidak lagi memiliki fungsi strategis utama merupakan beban yang kurang relevan.

Ketiga, fungsi penyelamatan BUMN yang bermasalah bisa dialihkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) yang telah memiliki mandat serta pengalaman dalam restrukturisasi. Dengan dukungan kerangka hukum yang diperkuat, PPA bisa menjalankan peran sebagai resolution entity yang efektif.

Keempat, penghapusan Kementerian BUMN dapat menyederhanakan jalur birokrasi BUMN, memotong waktu pengambilan keputusan, dan mengurangi biaya koordinasi vertikal—selama ini menjadi salah satu faktor penghambat reformasi korporasi negara.

Kelima, dari perspektif global, banyak negara dengan portofolio BUMN besar tidak lagi mengandalkan kementerian sebagai pengelola. Singapura dengan Temasek, Malaysia dengan Khazanah, Norwegia dengan NBIM—semuanya mempercayakan pengelolaan aset negara pada entitas investasi profesional yang independen dari birokrasi negara.

Tentu, membubarkan kementerian bukan langkah sederhana. Namun di tengah dorongan reformasi kelembagaan dan kebutuhan peningkatan efisiensi fiskal, opsi ini pantas untuk didalami lebih lanjut.

Pemerintah perlu membuka ruang diskusi terbuka mengenai reposisi peran Kementerian BUMN dan masa depan tata kelola BUMN pasca-Danantara. Tanpa kejelasan arah dan struktur, kita berisiko menghadirkan duplikasi kerja, ketidakpastian di level manajemen BUMN, dan yang paling berbahaya: kehilangan kesempatan untuk menata ulang pengelolaan aset negara dengan model yang lebih modern, efektif, dan profesional. (ESG-1)

Related posts