ESG News– Selama beberapa dekade, pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi sorotan dunia. Negeri Tirai Bambu ini mampu mencatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang impresif, menjadi motor pendorong ekonomi global, dan menjadi pusat manufaktur dunia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ada satu pertanyaan besar yang terus menghantui analis dan investor global: Apakah angka-angka yang dipaparkan Beijing benar-benar mencerminkan realitas?
Semakin Tertutupnya Akses Data
Jika dulu data-data seperti pengangguran, sektor properti, pinjaman bank, dan data demografis tersedia secara terbuka, kini banyak dari informasi itu menghilang dari situs resmi pemerintah Tiongkok. Bahkan data yang pernah menjadi acuan utama para investor asing – seperti tingkat pengangguran pemuda, volume perdagangan rumah, atau aktivitas konsumsi rumah tangga – kini sulit diakses atau tidak lagi diperbarui.
Otoritas Tiongkok belakangan hanya mengandalkan narasi besar seperti pertumbuhan PDB, target-target makro, dan data yang dikurasi secara selektif. Bagi sebagian pengamat, ini menjadi upaya pemerintah untuk mengontrol persepsi, terutama di tengah perlambatan ekonomi, krisis properti, dan meningkatnya tekanan geopolitik.
Jalan Memutar Para Analis
Dengan terbatasnya akses ke data resmi, para ekonom dan analis kini harus mencari “indikator alternatif” untuk membaca kondisi ekonomi sebenarnya di Tiongkok. Mereka mulai menggunakan:
-
Citra satelit untuk menghitung volume lalu lintas dan aktivitas pelabuhan.
-
Data pengiriman logistik dari perusahaan pihak ketiga.
-
Laporan keuangan perusahaan swasta sebagai cerminan aktivitas industri.
-
Jejak digital dari e-commerce, lowongan kerja online, hingga data konsumsi listrik.
Namun semua pendekatan ini tetap memiliki keterbatasan dan mengundang pertanyaan: bagaimana dunia bisa memahami kondisi ekonomi Tiongkok jika cermin utamanya dipenuhi kabut?
Konsekuensi Global
Tertutupnya data ekonomi Tiongkok bukan hanya masalah internal. Negara ini adalah mitra dagang utama bagi puluhan negara di Asia, Afrika, hingga Amerika Latin. Ketidakjelasan informasi berdampak pada:
-
Ketidakpastian di pasar keuangan global
-
Ketidakakuratan dalam proyeksi ekspor-impor negara mitra
-
Risiko salah langkah kebijakan oleh negara-negara yang bergantung pada Tiongkok
-
Menurunnya kepercayaan investor terhadap transparansi regulasi di Tiongkok
Bahkan, IMF dan Bank Dunia kian sulit melakukan asesmen akurat atas outlook ekonomi Asia Timur karena data fundamental Tiongkok tidak lengkap.
Transparansi atau Legitimasi?
Bagi banyak pengamat, penutupan akses data ini mencerminkan dilema besar Beijing: memilih menjaga legitimasi politik lewat narasi optimisme, atau membuka data sepenuhnya dan menerima risiko tekanan sosial.
Sikap Tiongkok ini juga mengisyaratkan pergeseran strategi ekonomi dari berbasis pasar terbuka ke arah yang lebih terpusat dan dikendalikan.
Transparansi data adalah fondasi kepercayaan dalam ekonomi global. Ketika Tiongkok – sebagai ekonomi terbesar kedua dunia – mulai menutup diri, implikasinya bukan hanya bagi Beijing, tapi juga bagi seluruh dunia yang mencoba memahami ke mana arah ekonomi global sebenarnya berjalan.
Saat GDP tak lagi cukup menjawab, dunia dipaksa membaca Tiongkok lewat celah-celah samar. Dan dalam kabut itu, ketidakpastian kian tebal. Apakah ini akan memberikan manfaat bagi dunia atau Tiongkok sendiri, time will tell.
(Artikel ini dibuat berdasarkan bantuan AI/ESG-1)