ESG News – Perbankan syariah dinilai masih memiliki ruang besar untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor potensial, terutama industri pengolahan (manufaktur) dan perdagangan besar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan bahwa peluang ini harus diimbangi dengan upaya mitigasi risiko yang lebih ketat, seiring meningkatnya ketidakpastian ekonomi global.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengatakan industri pengolahan dan perdagangan besar masih menunjukkan prospek positif untuk pembiayaan tahun ini. Data OJK per Februari 2025 menunjukkan porsi kredit ke industri pengolahan mencapai 15,69 persen dari total kredit perbankan, sementara perdagangan besar menyumbang 14,98 persen.
Meskipun rasio kredit bermasalah (NPL) industri pengolahan sedikit meningkat secara tahunan, sektor ini tetap berkembang. Kredit sektor manufaktur tumbuh 11,46 persen year on year (yoy) dengan NPL gross sebesar 2,93 persen dan loan at risk (LaR) sebesar 10,08 persen.
“Ini menandakan kedua industri tersebut masih memiliki prospek yang baik untuk dibiayai oleh perbankan,” ujar Dian dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (28/4).
Menurut Dian, sektor manufaktur menawarkan potensi pertumbuhan melalui peningkatan kebutuhan barang konsumsi, ekspor barang jadi, hingga penciptaan lapangan kerja. Selain itu, peluang baru muncul dari pengembangan industri semikonduktor dan hilirisasi nikel seiring tren kendaraan listrik.
Namun, OJK mengingatkan bahwa ketidakpastian global, termasuk kebijakan tarif impor Amerika Serikat terhadap Indonesia, bisa menimbulkan risiko baru, terutama pada sektor manufaktur yang bergantung pada ekspor.
“OJK senantiasa memberikan arahan kepada bank apabila terjadi perubahan kondisi baik di pasar global maupun domestik,” kata Dian.
Untuk itu, OJK memberikan relaksasi kebijakan prudensial bagi perbankan, termasuk penilaian kualitas kredit hingga Rp5 miliar hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan bunga, serta kelonggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) untuk BUMN hingga 30 persen dari modal bank.
Peluang dan Strategi untuk Perbankan Syariah
Dian menegaskan bahwa perbankan syariah, yang memiliki eksposur risiko pasar lebih rendah dibanding perbankan konvensional, bisa memanfaatkan kondisi ini untuk memperkuat posisinya.
“OJK mendorong perbankan syariah semakin menguatkan awareness terhadap perkembangan makro ekonomi global maupun domestik,” tuturnya.
Beberapa sektor yang dinilai layak untuk menjadi sasaran pembiayaan perbankan syariah antara lain Industri pengolahan/manufaktur (pangan, pakaian, elektronik, otomotif), Perdagangan besar (khususnya bahan pokok dan elektronik) dan Industri berbasis komoditas strategis seperti hilirisasi nikel dan pertambangan semikonduktor
Di sisi mitigasi risiko, OJK meminta bank syariah untuk konsisten menerapkan manajemen risiko sesuai ketentuan, Bank Syariah juga dimita melakukan assessment lanjutan terhadap debitur dengan paparan tinggi terhadap risiko global, melakukan mitigasi dini terhadap potensi risiko akibat kebijakan tarif. Dan mencari peluang dalam perdagangan internasional, terutama dengan negara-negara non-AS.
Meski terdapat tantangan eksternal, perbankan syariah tetap menunjukkan ketahanan. Hingga Februari 2025, total aset perbankan syariah mencapai Rp949,56 triliun dengan market share 7,46 persen. Pembiayaan tumbuh 9,17 persen yoy menjadi Rp642,64 triliun, sedangkan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 7,91 persen yoy.
Kualitas pembiayaan tetap terjaga dengan rasio non-performing financing (NPF) gross di angka 2,21 persen. Tingkat permodalan pun solid, tercermin dari capital adequacy ratio (CAR) sebesar 25,1 persen.
“Bank syariah harus mampu mencari peluang dari dinamika saat ini, sembari tetap memperkuat ketahanan dalam menghadapi ketidakpastian global,” tutup Dian. (ESG-1)