Perang Dagang Memanas, Bursa Asia Tertekan: Hang Seng Anjlok 9%, Yuan Melemah

Harga saham di bursa Tiongkok dan Hongkong berguguran menyusul meningatnya ketegangan akibat tarif Trump. (investing.com)

ESG News – Ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memuncak, mendorong bursa saham Asia jatuh pada perdagangan Senin (7/4). Respons balasan Beijing terhadap tarif baru dari Washington memicu aksi jual besar-besaran, menambah tekanan pada pasar yang sudah sensitif terhadap perlambatan ekonomi global.

Indeks Hang Seng Hong Kong ambles hingga 9%, dipimpin oleh penurunan tajam saham teknologi, energi terbarukan, perbankan, dan ritel daring. Saham HSBC rontok 13%, menjadi penurunan harian terbesar sejak krisis keuangan 2009, sementara Standard Chartered turun lebih dari 16% ke rekor terendah.

Indeks CSI300 Tiongkok, yang mencakup saham-saham unggulan, terkoreksi lebih dari 5%. Penurunan merata di hampir seluruh sektor, dari energi hingga kendaraan listrik. Yuan Tiongkok merosot ke level terlemah sejak Januari, menandakan tekanan pasar yang kian dalam, sementara harga obligasi pemerintah melonjak karena pelarian investor ke aset aman.

Kondisi ini dipicu oleh langkah balasan Tiongkok pada Jumat lalu yang menetapkan tarif tambahan terhadap produk-produk AS, setelah sebelumnya Washington menaikkan beban tarif hingga melampaui 50% atas sejumlah besar barang Tiongkok.

“Dampaknya cukup besar, dan akan makin menyulitkan Tiongkok mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun ini,” ujar Tao Wang, Kepala Ekonom Tiongkok di UBS, dalam diskusi bersama investor.

Bursa Asia tak hanya tertekan oleh ketegangan dagang, tetapi juga oleh kekhawatiran akan dampak lanjutannya terhadap permintaan global. Indeks volatilitas Hang Seng melonjak ke level tertinggi sejak Oktober, mencerminkan ketakutan pasar akan resesi global yang dipicu konflik dagang dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.

Ben Bennett, Kepala Strategi Investasi Asia di LGIM, mengatakan aksi jual hari ini juga mencerminkan ‘efek susulan’ dari pasar global pada Jumat lalu saat bursa Tiongkok tutup. “Ini bukan reaksi berlebihan, tapi bentuk risk-off secara menyeluruh,” ujarnya.

Selain sektor perbankan, saham-saham teknologi besar seperti Alibaba dan Tencent juga ikut tenggelam, masing-masing turun lebih dari 10%. Sektor energi, baik konvensional maupun terbarukan, ikut terseret oleh anjloknya harga minyak dunia.

Dengan belum adanya tanda-tanda deeskalasi dari pihak AS, pasar kini menanti langkah Beijing selanjutnya untuk menopang ekspor dan menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri.

Related posts