ESG News – Direktur Policy+ Raafi Seiff menyoroti masih minimnya pengawasan dan transparansi dalam penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) di sektor perbankan. Menurutnya, akuntabilitas praktik ESG sangat bergantung pada kritik dan saran dari berbagai kelompok kepentingan, seperti organisasi sipil, konsumen, pegawai, serta komunitas terdampak.
Dalam diskusi publik bertajuk “Peran Investasi ESG Bank Domestik dalam Pendanaan Transisi Energi” di Jakarta pada Selasa (25/02), Raafi mengungkapkan bahwa pengawasan dan kritik terhadap implementasi ESG oleh bank di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini berimplikasi pada rendahnya akuntabilitas dan transparansi bank dalam menjalankan prinsip ESG.
“Pengawasan dan akuntabilitas terhadap praktik ESG oleh bank masih minim. Kritik serta saran dari masyarakat dan kelompok kepentingan masih sangat terbatas, sehingga implementasi ESG berjalan tanpa pemantauan yang optimal,” ujar Raafi.
Selain itu, ia menyoroti bahwa regulasi nasional terkait ESG masih terlalu fokus pada aspek lingkungan, sementara aspek sosial dan tata kelola masih kurang diperhatikan. Akibatnya, bank dan institusi keuangan kerap menerapkan ESG dengan standar yang berbeda tanpa supervisi yang ketat dari otoritas yang berwenang.
“Pada akhirnya, kesenjangan dalam implementasi ESG ini harus ditanggulangi sendiri oleh institusi keuangan tanpa adanya standar yang jelas dari regulator,” tambahnya.
Ketidakkonsistenan dalam penerapan ESG juga tercermin dalam laporan keberlanjutan yang diterbitkan bank-bank di Indonesia. Raafi mencatat bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam tingkat kejelasan, variasi konten, serta kedalaman informasi yang disampaikan dalam laporan ESG.
“Beberapa bank memberikan detail yang jelas tentang pengukuran, pencapaian, serta dampak dari implementasi ESG mereka. Namun, ada pula bank yang menyajikan laporan dengan informasi yang minim atau bahkan kurang transparan,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa bank sebagai institusi keuangan memiliki peran strategis dalam mendorong praktik ESG yang lebih transparan dan kredibel. Seiring meningkatnya kesadaran konsumen terhadap ESG, kepercayaan publik terhadap bank juga bergantung pada sejauh mana praktik ESG yang mereka jalankan benar-benar mencerminkan laporan yang dipublikasikan.
“Jika laporan ESG yang diterbitkan tidak sesuai dengan praktik bisnis yang sesungguhnya, kepercayaan publik dapat menurun. Konsumen semakin skeptis terhadap laporan yang hanya sekadar menjadi dokumen formalitas tanpa implementasi nyata,” kata Raafi.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa peran bank dalam ESG tidak hanya sebatas kepatuhan regulasi, tetapi juga sebagai penggerak perubahan dalam industri keuangan. Bank memiliki peran penting dalam memengaruhi tren investasi, memberikan pembiayaan untuk inisiatif berkelanjutan, serta mengelola risiko yang berkaitan dengan ESG.
“Peranan bank dalam ESG mencakup penyediaan pembiayaan untuk proyek-proyek berkelanjutan, manajemen risiko, edukasi dan advokasi ESG kepada pemangku kepentingan, serta inovasi produk yang mendukung keuangan berkelanjutan,” tutup Raafi.
Minimnya transparansi dan pengawasan terhadap penerapan ESG di sektor perbankan menjadi tantangan yang perlu segera diatasi. Peran otoritas pengawas, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menjadi krusial dalam memastikan penerapan ESG yang lebih kredibel, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan oleh seluruh pemangku kepentingan di industri keuangan. (ESG-1)