ESG News – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengusulkan kepada pemerintah pemberian insentif berupa tax holiday selama 15 tahun guna mempercepat pengembangan industri energi hijau di Tanah Air.
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Investasi, Hilirisasi, dan Lingkungan Hidup Kadin Indonesia, Bobby Gafur Umar, menekankan bahwa insentif ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan dan struktur harga keekonomian dalam sektor energi hijau.
Insentif untuk Mendorong Investasi Energi Hijau
Menurut Bobby, insentif dan subsidi sangat penting, terutama bagi sektor ketenagalistrikan dan transportasi, karena biaya produksi energi baru terbarukan (EBT) masih lebih tinggi dibandingkan energi fosil. Selain itu, investor dan pelaku usaha yang menanamkan modal di sektor EBT mengharapkan imbal hasil yang kompetitif.
“Pemberian insentif dan subsidi menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah dalam mempercepat pengembangan industri energi hijau, mengingat keterbatasan anggaran fiskal,” ujarnya dalam Indonesia Green Energy Investment Dialogue di Jakarta.
Tantangan Regulasi dan Kepastian Hukum
Selain masalah insentif, tantangan lain dalam pengembangan energi hijau adalah kepastian hukum dan regulasi yang stabil. Bobby menyoroti bahwa perubahan regulasi yang terjadi akibat pergantian pemerintahan seringkali menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan investor.
“Kami melihat Presiden RI Prabowo Subianto sudah sangat tegas dan menunjukkan komitmennya terhadap penegakan hukum. Kepastian hukum sangat penting untuk menarik investasi,” tambahnya.
Pendanaan dan Dukungan Pemerintah
Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, optimistis terhadap pertumbuhan investasi energi hijau di Indonesia. Ia menyebut bahwa pemerintah telah membentuk lembaga pengelola dana sovereign wealth fund (SWF) Danantara yang akan membiayai berbagai proyek strategis, termasuk sektor EBT.
“Idenya adalah mengundang lebih banyak investor untuk berinvestasi dalam proyek-proyek layak dan ramah lingkungan,” ujar Hashim.
Sementara itu, Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Todotua Pasaribu, menegaskan bahwa pemerintah memprioritaskan investasi di sektor energi hijau. Dari total potensi energi baru terbarukan sebesar 3.700 gigawatt, pemanfaatannya baru mencapai 144 gigawatt.
“Tantangan ini harus kita hadapi dengan serius. Pemerintah berkomitmen mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat,” katanya.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), pemerintah menargetkan 72 persen dari tambahan listrik sebesar 71 gigawatt berasal dari EBT. Selain itu, target bauran energi ditingkatkan 2,5 kali lipat dari 14 persen pada 2024 menjadi 34,6 persen pada 2034.
Minat Internasional dalam Investasi Energi Hijau
Wakil Ketua Umum Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kadin, Aryo Djojohadikusumo, mengapresiasi langkah pemerintah dalam memprioritaskan sektor EBT sebagai tujuan investasi. Ia juga mengungkapkan bahwa beberapa negara telah menunjukkan minat dalam pengembangan industri energi hijau di Indonesia.
“Ada proposal dari tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia, untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang direncanakan on-grid pada 2032. Ketiga negara ini juga melibatkan anggota Kadin,” ungkap Aryo.
Dengan berbagai langkah strategis ini, diharapkan investasi energi hijau di Indonesia semakin berkembang dan mendukung pencapaian target energi berkelanjutan di masa depan. (ESG-1)