ESG News – Dampak kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump kembali mengguncang pasar keuangan global. Dalam dua hari terakhir, bursa saham Amerika Serikat tercatat kehilangan kekayaan sebesar US$6,6 triliun, dengan indeks Dow Jones turun 9,3%, S&P 500 anjlok 10,5%, dan NASDAQ merosot hingga 11,4%, menandai masuknya ke wilayah bear market dengan penurunan lebih dari 20% dari posisi tertinggi sebelumnya.
Kejatuhan ini terjadi setelah tarif dasar sebesar 10% resmi diberlakukan pada Sabtu pukul 12:01 AM ET. Kebijakan lebih keras berupa tarif resiprokal berdasarkan negara akan mulai berlaku pada 9 April 2025.
Di bawah kebijakan baru ini, China dikenakan tarif tambahan sebesar 34%, di atas tarif eksisting sebesar 20%, menjadikan total tarif efektif sebesar 54%. Negara lain juga terdampak: Vietnam (46%), Uni Eropa (20%), Taiwan (32%), Jepang (24%), dan India (26%), dengan total lebih dari 180 negara masuk dalam daftar.
Sebagai respons, China telah menerapkan tarif balasan sebesar 34% terhadap produk asal AS. Sementara itu, Vietnam tampaknya telah lebih dulu menunjukkan sinyal damai, setelah Trump menyebut adanya pembicaraan “konstruktif” dengan pemimpin negara tersebut dan permintaan agar tarif diturunkan ke 0%.
Perusahaan besar seperti Apple Inc (NASDAQ:AAPL) menjadi korban terbesar. Dalam dua hari, nilai pasar Apple susut sebesar US$533 miliar, dan analis memperkirakan tarif baru ini dapat menggerus keuntungan tahunan Apple hingga US$40 miliar, atau memaksa mereka menaikkan harga jual produk yang berpotensi menekan permintaan.
Meski pasar sudah sejak lama mengantisipasi tarif ini, investor tetap terkejut oleh besaran tarif yang tak sepenuhnya mencerminkan kebijakan serupa dari negara lain. Pemerintahan Trump menyatakan bahwa tarif ini mencakup penyesuaian terhadap manipulasi mata uang dan pajak seperti VAT di Eropa. Beberapa ekonom menduga tarif tersebut juga mencerminkan ketidakseimbangan neraca dagang negara lain terhadap AS.
Dalam situasi ini, Presiden Trump bersikukuh mempertahankan posisinya. “Hanya yang lemah yang akan gagal,” tulis Trump di media sosial. Ia juga menyatakan bahwa “perusahaan besar tidak khawatir terhadap tarif”, melainkan fokus untuk mencapai “kesepakatan besar”.
Di internal pemerintahan, Menteri Keuangan Scott Bessent bahkan menyalahkan kejatuhan pasar pada sistem perdagangan Tiongkok, DeepSeek. Sementara Menteri Luar Negeri Marco Rubio mencoba menenangkan publik dengan mengatakan bahwa “yang jatuh adalah pasar, bukan ekonomi.”
Namun kritik mulai datang, bahkan dari pendukung Trump sendiri. Senator Ted Cruz menyebut tarif sebagai pajak terhadap konsumen AS dan “sangat berisiko”. Senator Rand Paul lebih keras lagi, menyebutnya sebagai “bunuh diri finansial dan politik”, sambil mengingatkan sejarah kegagalan kebijakan tarif serupa di era McKinley dan Smoot-Hawley.
Dampak ekonomi lebih luas juga mulai terasa. JP Morgan meramalkan bahwa tarif baru ini dapat menurunkan pertumbuhan PDB AS tahun 2025 menjadi -0,3%, jauh dari proyeksi sebelumnya sebesar 1,3%. Efek kekayaan negatif akibat pasar saham yang merosot menjadi perhatian serius di kalangan ekonom.
Dengan pasar yang terus berjatuhan dan pembeli menahan diri, kekhawatiran akan spiral ke bawah semakin menguat. Hingga kini, Trump belum menunjukkan tanda-tanda untuk mundur dari strategi tarifnya.
Pertanyaannya kini: siapa yang akan mengedipkan mata lebih dulu—Trump atau pasar? (ESG-1)