ESG Jadi Keharusan di Industri Sawit, Namun Jalan Menuju Keberlanjutan Masih Panjang

Hamparan perkebunan kelapa sawit. Penerapan ESG menjadi keharusan di industri ini. (pict by wirestock on Freepik)

ESG News – Penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) di sektor perkebunan kelapa sawit kini menjadi tuntutan mutlak, bukan lagi sekadar pilihan etis. Di tengah meningkatnya tekanan dari pasar global, lembaga keuangan, dan konsumen yang kian peduli pada isu keberlanjutan, industri sawit Indonesia menghadapi desakan untuk bertransformasi secara menyeluruh. Namun di balik sejumlah kemajuan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar ESG benar-benar menjadi standar bersama, bukan hanya slogan bagi sebagian kecil perusahaan besar.

Sebagai salah satu komoditas ekspor utama Indonesia, industri sawit menyumbang devisa yang signifikan dan membuka lapangan kerja bagi jutaan orang. Sayangnya, sektor ini juga selama bertahun-tahun dikaitkan dengan berbagai isu lingkungan dan sosial: dari deforestasi, perusakan lahan gambut, konflik lahan dengan masyarakat adat, hingga praktik kerja yang tidak layak. Dunia internasional semakin tegas menyikapi hal ini. Uni Eropa, misalnya, telah memberlakukan EU Deforestation Regulation (EUDR) yang mengharuskan produk sawit yang masuk ke pasar mereka bebas dari unsur deforestasi.

Komitmen ESG: Masih Terbatas di Kalangan Perusahaan Besar

Sejumlah perusahaan sawit nasional telah menunjukkan langkah maju dalam mengadopsi prinsip ESG. PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG), misalnya, menjadi satu dari sedikit perusahaan Indonesia yang masuk dalam 10 besar global dalam hal transparansi ESG versi SPOTT. SMART Tbk, bagian dari konglomerasi Golden Agri-Resources, terus mengembangkan program pemberdayaan petani dan keterlacakan rantai pasok. Asian Agri dan Musim Mas juga dikenal aktif dalam pelaporan keberlanjutan serta sertifikasi RSPO dan ISPO.

Namun, penerapan ESG secara menyeluruh masih menghadapi hambatan besar, terutama di kalangan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) serta petani swadaya yang mengelola sekitar 40% dari total luas lahan sawit nasional. Keterbatasan akses terhadap pendanaan, rendahnya literasi keberlanjutan, dan lemahnya pengawasan di tingkat daerah membuat prinsip ESG sulit dijalankan secara merata.

“Selama ini, ESG baru dijalankan oleh perusahaan yang punya sumber daya besar. Tapi jika hanya segelintir yang patuh, dampaknya tidak akan signifikan secara nasional,” kata Dimas Hadi, peneliti di bidang kebijakan lingkungan dari sebuah lembaga think tank di Jakarta.

Sertifikasi Belum Jadi Norma, Pendampingan Minim

Meskipun Indonesia memiliki skema sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang bersifat wajib, efektivitasnya masih dipertanyakan. Banyak perusahaan kecil maupun petani plasma yang belum memenuhi standar minimum, baik dari sisi administratif maupun teknis. Proses sertifikasi yang rumit, mahal, dan memakan waktu menjadi salah satu alasan utama.

“Salah satu tantangan terbesar adalah biaya sertifikasi dan kurangnya pendampingan teknis bagi petani kecil,” ujar Erlina, manajer program di sebuah LSM yang fokus pada penguatan petani sawit. “Padahal mereka adalah aktor kunci dalam rantai pasok sawit nasional.”

Menurut data RSPO, hingga tahun 2023 baru sekitar 2 juta hektare kebun sawit di Indonesia yang tersertifikasi, dari total luas sekitar 16 juta hektare. Artinya, sebagian besar masih berada di luar skema sertifikasi berkelanjutan. Tanpa intervensi pemerintah dan sektor keuangan, percepatan penerapan ESG akan sulit terwujud di lapangan.

Menuju Regulasi dan Insentif yang Lebih Tegas

Untuk mendorong transformasi yang lebih luas, sejumlah kebijakan sedang disiapkan. Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tengah mengkaji skema insentif berbasis ESG, termasuk potongan pajak dan akses pembiayaan murah bagi pelaku usaha sawit yang menerapkan praktik berkelanjutan. Selain itu, Bursa Efek Indonesia telah mulai mengadopsi penilaian ESG sebagai bagian dari indikator keberlanjutan perusahaan tercatat.

Namun kebijakan saja tidak cukup. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga keuangan, LSM, dan perusahaan besar untuk mengembangkan sistem pendampingan dan pembiayaan yang inklusif bagi petani kecil. Perlu juga penguatan tata kelola di tingkat daerah, agar pelanggaran lingkungan dan konflik lahan tidak lagi dianggap hal yang biasa.

Jalan Panjang Menuju Sawit Berkelanjutan

Transformasi ESG di sektor sawit Indonesia bukanlah proses instan. Diperlukan perubahan paradigma dari hulu ke hilir: dari pola pikir bisnis yang sekadar mengejar ekspansi lahan menjadi pengelolaan produktivitas yang berkelanjutan, dari eksklusivitas praktik ESG menjadi ekosistem bersama yang inklusif dan terintegrasi.

Tanpa komitmen menyeluruh dan percepatan adopsi prinsip ESG, industri sawit nasional berisiko kehilangan daya saing di pasar internasional. Namun jika dijalankan secara konsisten, ESG dapat menjadi fondasi masa depan sawit Indonesia yang tidak hanya menghasilkan keuntungan ekonomi, tetapi juga menjunjung tinggi tanggung jawab sosial dan kelestarian lingkungan. (ESG-1)

Related posts