Dampak Tarif AS Mengguncang Pasar: Dua Hari Terburuk Sejak Pandemi, Investor Hadapi Guncangan Historis

Dampak kebijakan tarif impor yang diambil Presiden Trump mengguncang pasar saham global.

ESG News – Para investor menghadapi kerugian pasar yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terburuk dalam sejarah, setelah pemerintahan Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif besar-besaran pada pekan lalu yang dijuluki sebagai “Hari Pembebasan” (Liberation Day).

Kebijakan tarif yang tiba-tiba dan luas tersebut memicu penurunan dua hari di pasar saham AS yang tercatat sebagai terburuk keempat sejak Perang Dunia II, hanya kalah oleh kejatuhan 1987, krisis keuangan global 2008, dan kepanikan pasar awal pandemi COVID-19 pada 2020.

Deutsche Bank menyebut gejolak ini sebagai “guncangan terbesar terhadap sistem perdagangan global sejak runtuhnya Bretton Woods pada 1971,” sekaligus menyamakan tarif baru itu dengan “kenaikan pajak terbesar bagi konsumen AS sejak Perang Vietnam.”

Meskipun pandangan Trump yang pro-tarif telah dikenal luas, cakupan kebijakan kali ini jauh lebih besar dan diterapkan secara lebih sembarangan dari yang diperkirakan banyak pelaku pasar. Hal ini mengikis kepercayaan investor terhadap strategi ekonomi Gedung Putih dan memicu pertanyaan besar soal arah masa depan kebijakan perdagangan AS.

Langkah ini juga mencerminkan perubahan mendasar dalam pendekatan AS terhadap perdagangan internasional, meninggalkan peran tradisional pasca-Perang Dunia II sebagai importir utama dunia. Kini, AS tampaknya lebih fokus pada upaya reshoring dan proteksi industri domestik.

Namun, implikasinya melampaui sekadar perdagangan. Analis Deutsche Bank memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa mengganggu keseluruhan hubungan antara AS dan dunia internasional, termasuk di bidang pertahanan, geopolitik, dan tatanan multilateral berbasis aturan.

“Jarang sekali — bahkan mungkin belum pernah — hari-hari ke depan menjadi sepenting ini bagi arah pasar global,” tulis Deutsche Bank dalam laporannya.

Pasar ekuitas AS yang selama ini paling diuntungkan dari globalisasi — lewat rantai pasok global dan tenaga kerja murah — kini menjadi yang paling rentan, terutama karena valuasi saham yang sangat tinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Meski pemerintah AS menekankan potensi keuntungan jangka panjang dari reshoring, Deutsche Bank memperingatkan bahwa dalam jangka pendek kebijakan ini berisiko mendorong ekonomi ke jurang resesi. Lembaga itu memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan melambat ke bawah 1%, tingkat pengangguran naik menuju 5%, dan inflasi PCE melonjak hingga 4%.

Dengan minimnya sinyal perubahan arah dari Gedung Putih, sentimen pasar diperkirakan akan terus dibayangi ketidakpastian. (ESG-1)

Related posts