Defisit Minyak Sawit Picu Kekhawatiran Kenaikan Harga Minyak Goreng di 2025

Pasokan sawit yang defisit diperkirakan akan menekan program sawit untuk minyak makan. (dok.ist)

ESG News _ Kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng yang sempat terjadi pada 2022-2023 dikhawatirkan kembali terulang di tahun 2025 akibat defisit minyak sawit nasional. Harga Eceran Tetap (HET) “Minyak Kita,” minyak goreng bersubsidi pemerintah, telah naik signifikan dari Rp14.000 menjadi Rp18.000 per liter pada November 2024.

Salah satu penyebab utama dari kelangkaan minyak goreng adalah distribusi minyak sawit mentah (CPO) yang cenderung lebih menguntungkan untuk sektor energi, terutama biodiesel, dibandingkan pangan. Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, mengungkapkan bahwa kebijakan “dua harga” CPO menciptakan kecenderungan penjualan yang lebih besar untuk biodiesel dibandingkan minyak goreng. Selain itu, belum adanya regulasi yang jelas terkait alokasi CPO untuk kebutuhan pangan dan energi semakin memperburuk situasi.

Strategi Mengatasi Polemik Minyak Goreng

Laporan hasil studi Sawit Watch, Satya Bumi, dan Koalisi Transisi Bersih dalam buku Prahara Minyak Goreng: Dampak Kebijakan Bahan Bakar Nabati terhadap Pasokan Minyak Goreng menyarankan beberapa langkah strategis yang perlu diambil pemerintah, antara lain:

Mengatur pola konsumsi CPO guna membenahi tata kelola industri minyak goreng.

Evaluasi dan pengawasan sistem distribusi minyak goreng.

Menjaga kestabilan HET minyak goreng.

Mengatur kebijakan industri sawit dari hulu ke hilir.

Reforma aset bagi petani sawit melalui kepemilikan pabrik sawit dan pabrik minyak goreng skala mikro.

Achmad menegaskan bahwa intensifikasi perkebunan sawit, bukan ekspansi lahan baru, harus menjadi solusi utama untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sawit nasional. “Jangan sampai program B40 kembali menciptakan kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng di 2025,” tegasnya.

Program Biodiesel B40 Berpotensi Memicu Defisit Minyak Sawit Nasional

Kebijakan pengembangan biodiesel B40 yang mulai diterapkan pada 2025 berisiko menyebabkan defisit minyak sawit nasional. Produksi minyak sawit nasional tahun ini diperkirakan turun sebesar 5,1% akibat banyaknya tanaman sawit yang memasuki usia nonproduktif. Sementara itu, permintaan dalam negeri terus meningkat, terutama untuk biodiesel dan program Makan Bergizi Gratis.

Jika permintaan biodiesel terus meningkat tanpa diimbangi produksi yang mencukupi, maka pasokan minyak sawit untuk pangan bisa terancam. Sejumlah lembaga masyarakat mencatat bahwa pencampuran 40% biodiesel memerlukan perluasan lahan sawit hingga 138 ribu hektare. Padahal, ada solusi lain yang bisa diambil tanpa harus membuka lahan baru yang berisiko meningkatkan deforestasi.

Marselinus Andry, Kepala Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), menuturkan bahwa penerapan B40 akan mendorong peningkatan permintaan CPO domestik hingga 14,8 juta metrik ton (MT), naik 31,3% dari tahun sebelumnya. Hal ini sejalan dengan meningkatnya kuota biodiesel nasional menjadi 15,6 juta kiloliter (kl) dari 12,98 juta kl pada Program B35.

“Kebijakan B40 berpotensi menyebabkan defisit minyak sawit nasional sebesar 1,04 juta MT. Pemerintah harus mewaspadai dampaknya agar tidak mengulang ironi kelangkaan minyak goreng dan rendahnya harga tandan buah segar (TBS) petani akibat kebijakan pelarangan ekspor CPO yang terjadi pada 2022,” pungkas Andry.

Dengan kondisi ini, pemerintah perlu menyeimbangkan kebijakan energi dan pangan agar sektor industri sawit tidak hanya menguntungkan biodiesel, tetapi juga menjaga pasokan minyak goreng bagi masyarakat. (RO/ESG-1)

 

Related posts