ESG News – Harga minyak dunia kembali menjadi sorotan setelah konflik Israel–Iran memicu kenaikan tajam di pasar. Namun yang lebih penting adalah beragam skenario harga minyak yang kini tengah dikaji oleh bank-bank global, dari yang paling optimistis hingga yang ekstrem.
💰 Skenario Harga Minyak Global:
-
💣 Skenario Terburuk – Minyak Tembus US$120–130 per Barel
Menurut JPMorgan, jika konflik berkembang menjadi perang terbuka yang memblokade Selat Hormuz, harga minyak bisa melesat ke US$130 per barel. Selat Hormuz adalah jalur laut vital yang dilalui 20% pasokan minyak dunia setiap hari. -
⚠️ Skenario Risiko Tinggi – Harga Naik di Atas US$100
Goldman Sachs memperkirakan bahwa gangguan serius di kawasan Timur Tengah bisa membuat harga menembus US$100, terutama jika OPEC+ tak bisa menggunakan kapasitas cadangannya akibat blokade. -
📈 Skenario Saat Ini – Harga Brent di Sekitar US$74–75
Setelah serangan Israel ke Iran, harga Brent sempat naik hampir 9% ke level US$74,74 per barel. Pasar masih dihantui ketidakpastian dan sentimen risiko meningkat tajam. -
📉 Skenario Dasar – Turun ke US$59–55 di Akhir 2025
Goldman Sachs dan Citi sama-sama meyakini bahwa jika tidak ada gangguan pasokan, harga akan menurun secara bertahap karena suplai dari luar AS—seperti Kanada dan Brasil—semakin besar. Proyeksi akhir 2025 untuk Brent/WTI: US$59/55. -
🛑 Skenario Stabil – Harga Bertahan di Atas US$70
Commerzbank memperkirakan harga tidak akan turun di bawah US$70 dalam waktu dekat, meskipun belum tentu terus naik, selama tidak ada eskalasi signifikan.
Catatan Penting untuk Indonesia
Menurut Pewarta Institute, skenario harga minyak dunia ini harus menjadi peringatan serius bagi Indonesia, terutama karena:
-
Kenaikan harga akan menambah beban subsidi energi dan mempersempit ruang fiskal.
-
Nilai tukar rupiah berisiko tertekan jika harga energi melonjak.
-
Inflasi domestik bisa terdorong, menekan daya beli dan pertumbuhan ekonomi.
“Pemerintah perlu menyiapkan mekanisme perlindungan fiskal, termasuk instrumen lindung nilai dan percepatan energi alternatif. Kita tidak bisa bergantung pada asumsi harga tetap rendah,” ujar Raja Suhud dari Pewarta Institute.
(ESG-1)